top of page

A Place to Live: Tempat Penerimaan Diri dan Berdamai dengan Masalah


Ditulis oleh: Usi Julastri Anhar


“Masalah itu hanyalah ilusi dari pikiran”, begitu kata seorang remaja berumur 17 tahun ini. Mungkin sebagian besar dari kita—orang dewasa—tak terima kala kata-kata ini ke luar dari seorang pelajar SMA. Namanya Queena, kalau dilihat sekilas, tampak seperti anak biasa, tapi begitu diselami pola pikirnya, ia luar biasa. Kira-kira dari mana datangnya? Tentu tidak dibawa sejak lahir, sikapnya yang tenang dan mandiri mungkin sedikit banyaknya membantu proses ini, namun tentu ada proses mengenali diri yang akrab dan mesra di baliknya.


Konsisten dengan karya tanah liatnya, akhirnya proses belajar 3 tahun Queena diproyeksikan ke dalam bentuk sebuah instalasi patung gerabah yang diisi oleh pot beserta tanamannya, ia menyebutnya dengan “A Place to Live”.


“A Place to Live”, di mana satu persatu tanaman hias hidup dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang problematik, adalah proyek seni pertama yang Queena angkat menggunakan isu pribadi. Berjumpa dengan masalah, membiarkannya masuk, hingga berdamai dengan diri sendiri, terdengar mudah diucapkan tapi sulit diimplementasikan. Tapi bagi Queena, hidup dengan masalah adalah sebagian porsi yang harus ia nikmati untuk mendewasakan.


Queena memang masih belia, tapi apa salahnya? Toh, umur hanyalah angka. Kadang kita lupa, kalau masalah bukan hanya milik orang dewasa, mungkin memang sudah masanya ia melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya.


48 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page